BONJOUR

Hahay....
LET'S READ YOUR MIND :3

Cari Saja Disini

Kamis, 09 Juni 2011

Pembentukan Endospora

TUGAS MIKROBIOLOGI DASAR PEMBENTUKAN ENDOSPORA Gambar 1. Formasi Pembentukan Spora. Endospora merupakan salah satu cara adaptasi mikroorganisme termasuk bakteri untuk bertahan dari lingkungan yang ekstrim seperti suhu tinggi, iradiasi UV tinggi, kekeringan, kerusakan kimia dan kehancuran enzimatis. Pertahanan endospora ini sangat luar biasa sehingga banyak perawatan antimikroba sulit untuk membunuhnya (Cornell University, 2011). Pembentukan endospora dimu;ai saat kondisi lingkungan sudah tidak mendukung, sel vegetative membentangkan DNA pada pusat sel, sel ini disebut ibu sel. Kemudian DNA terbagi menjadi dua kopian yang komplet, dan membrane sel ibu mengalami invaginasi untuk perkembangan forespore. Membran sel ibu terus tumbuh dan mencaplok spora yang tumbuh sehingga spora yang tumbuh ini dikelilingi oleh dua lapis membrane. Lalu, DNA sel ibu mengalami degradasi. Peptidoglikan mengisi diantara dua lapis membrane dari spora yang tumbuh untuk membentuk korteks. Asam diplokonik meyusun bagian dalam spora yang tumbuh dan kalsium masuk dari luar. karena kalsium masuk ke dalam spora maka air akan berpindah ke luar. Inilah yang menyebabkan spora selalu dalam kondisi dehidrasi. Setelah itu protein mantel menjadi bagian luar korteks dan spora menjadi mature. Beberapa spora membentuk lapisan adisional yang disebut exosporium. Sebuah spora mature akan tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim. Akhirnya enzim litik merusak ibu sel, dan spora dirilis (Hill, 2005). Sumber: Cornell University lewat http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.micro.cornell.edu/cals/micro/research/labs/angert-lab/bacterialendo.cfm diakses tanggal 31 Maret 2011. McGraw-Hill lewat http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://highered.mcgraw-hill.com/sites/0072556781/student_view0/chapter3/animation_quiz_1.html diakses tanggal 31 Maret 2011.

Keanekaragaman Mollusca di Pantai

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat banyak baik dari segi flora maupun faunanya yang dapat dikembangkan menjadi suatu penelitian yang bermanfaaat secara edukatif maupun dari segi ekonomisnya. Salah satu contoh fauna yang memiliki keanekaragaman tinggi adalah Mollusca, filum ini beranggotakan lebih dari 75.000 spesies dan dapat ditemukan di dalam palung lautan maupun daerah pegunungan, bahkan dikebun belakang rumah. Kerang mempunyai bentuk dan ukuran cangkang yang bervariasi. Variasi bentuk cangkang ini sangat penting dalam menentukan jenis-jenis Bivalve. Kerang masuk kedalam kelas Pelecypoda., Lamellibranchiata dan Bivalvia dalam kelompok moluska berdasarkan karakteristik yang dimiliki seperti kaki, insang dan dua cangkang. merupakan hewan yang sukses hidup di lingkungan akuatik (http//bivalvia.). Kerang hidup pada semua tipe perairan yaitu air tawar, estuari dan perairan laut. Kerang laut terdistribusi dari daerah intertidal, perairan laut dangkal dan ada yang mendiami perairan laut dalam. Faktor biologi yang mempengaruhi kehidupan kerang laut adalah fitoplankton, zooplankton, zat organik tersuspensi dan makluk hidup dilingkungannya (Debenay, 1994). Kerang laut mendapatkan makanan dengan feeding filter menggunakan siphon untuk mendapatkan makanan. Secara ekologi, filtrasi yang dilakukan oleh kerang laut digunakan untuk menghindari kompetisi makanan sesama spesies (Bachok, 2006). Kekayaan spesies kerang semakin berkurang karena pemanenan yang berlebihan dan meningkatnya populasi manusia serta perkembangan turis disepanjang pantai akan mempengaruhi kerang asal native bivalve (Barnes, 1997). Kajian keanekaragaman kerang intertidal sangat jarang dilakukan di kawasan laut tropika. Hal ini disebabkan kurangnya infrastruktur (Hendrickx, 2007) dan informasi terhadap hewan Moluska Kerang Pantai Delegan yang berada di pesisir utara Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul Keanekaragaman Mollusca di Pantai Delegan Kabupaten Gresik. I.2 Rumusan Masalah Dalam penelitian ini penulis akan menuliskan perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah keanekaragaman Mollusca di Pantai Delegan Kabupaten Gresik? 2. Apasajakah jenis Mollusca yang ditemukan di Pantai Delegan Kabupaten Gresik? 3. Apasajakah manfaat Mollusca yang ditemukan di Pantai Delegan Kabupaten Gresik? I.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari pembuatan karya ilmiah ini berdasarkan rumusan masalah di atas adalah: 1. Mengetahui keanekaragaman Mollusca di Pantai Delegan Kabupaten Gresik. 2. Mengetahui jenis-jenis Mollusca yang ditemukan di Pantai Delegan Kabupaten Gresik. 3. Mengetahui manfaat Mollusca yang ditemukan di Pantai Delegan Kabupaten Gresik. I.4 Batasan Masalah Mengingat luasnya ruang lingkup pada penelitian ini maka penulis membatasi masalah tersebut pada: 1. Karena luasnya daerah pantai yang mencakup Pantai Delegan Kabupaten Gresik, maka penulis akan melakukan penelitian hanya pada daerah Pantai Delegan yang menjadi objek wisata saja. 2. Mollusca dapat hidup dari daratan hingga lautan dalam, maka penilitian dilakukan terfokus pada zona litoral, yaitu daerah pasang surut air laut di Pantai Delegan. 3. Pemanfaatan Mollusca dibatasi hanya pada yang bernilai ekonomis saja. I.5 Manfaat Penelitian Penelitian yang penulis lakukan ini semoga dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, para pembaca, maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan. 1. Manfaat Akademis Penelitian ini erat hubungannya dengan materi Filum Mollusca pada mata kuliah Taksonomi Avertebrata, sehingga dengan melakukan penelitian ini penulis mengharapkan semua pihak yang berkepentingan, termasuk penulis sendiri, dapat lebih memahami materi ini. 2. Manfaat Praktik Penelitian ini memfokuskan pada Filum Mollusca yang ditemukan di zona litoral Pantai Delegan Kabupaten Gresik, sehingga dapat dijadikan salah satu acuan dalam pengklasifikasian Mollusca di daerah tersebut. Karena salah satu tujuan dalam penellitian ini juga mencakup pemanfaatan, penulis berharap penelitian ini dapat menggali potensi Mollusca secara ekonomis, sehingga dicapai hasil yang maksimal bagi penulis dan lingkungan sekitar pantai. BAB II KAJIAN PUSTAKA Mollusca (filum Mollusca, dari bahasa Latin: molluscus = lunak) merupakan hewan triploblastik selomata yang bertubuh lunak dengan maupun tanpa cangkang, seperti berbagai jenis siput, kiton, kerang-kerangan, serta cumi-cumi dan kerabatnya. Moluska merupakan filum terbesar kedua dalam kerajaan binatang setelah filum Arthropoda. Saat ini diperkirakan ada 75 ribu jenis, ditambah 35 ribu jenis dalam bentuk fosil. Moluska hidup di laut, air tawar, payau, dan darat. Moluska dipelajari dalam cabang zoologi yang disebut malakologi (malacology). Ciri tubuh Tubuh tidak bersegmen. Simetri bilateral. Tubuhnya terdiri dari "kaki" muskular, dengan kepala yang berkembang beragam menurut kelasnya. Kaki dipakai dalam beradaptasi untuk bertahan di substrat, menggali dan membor substrat, atau melakukan pergerakan. Ukuran dan bentuk tubuh Ukuran dan bentuk tubuh moluska sangat bervariasi. Misalnya, siput yang panjangnya hanya beberapa milimeter dengan bentuk bulat telur. Namun, ada juga cumi-cumi raksasa dengan bentuk torpedo bersayap yang panjangnya 17-18m. Strukur dan fungsi tubuh Tubuh hewan ini terdiri dari tiga bagian utama, yaitu kaki, badan, dan mantel. Kaki merupakan penjulur bagian ventral tubuhnya yang berotot, berfungsi untuk bergerak merayap atau menggali. Pada beberapa molluska kakinya ada yang termodifikasi menjadi tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa. Sedangkan massa viseral adalah bagian tubuh mollusca yang lunak dan merupakan kumpulan sebagaian besar organ tubuh seperti pencernaan, ekskresi, dan reproduksi. Mantel membentuk rongga mantel yang berisi cairan yang dapat mengekskresikan bahan penyusun cangkang pada Mollusca bercangkang. Pada rongga mantel ini terdapat lubang insang, lubang ekskresi, dan anus. Sistem pencernaan mollusca lengkap terdiri dari mulut, esofagus, lambung, usus, dan anus. Pada Mollusca tertentu ada yang memiliki rahang dan lidah bergigi yang melengkung kebelakang yang disebut radula, berfungsi untuk melumat makanan. Mollusca yang hidup di air bernapas dengan insang, sedangkan yang hidup di darat tidak memiliki insang. Oleh karena itu pertukaran udara mollusca dilakukan di rongga mantel berpembuluh darah yang berfungsi sebagai paru-paru. Organ ekskresinya berupa seoasang nefridia yang berperan sebagai ginjal. Sistem Saraf Sistem saraf moluska terdiri dari cincin saraf yang mengelilingi esofagus dengan serabut saraf yang menyebar. Cara Hidup dan Habitat Moluska merupakan organisme heterotrof dengan memakan ganggang, ikan, udang atau sisa-sisa organisme, habitatnya di darat, di laut maupun hidup sebagai parasit. Reproduksi Moluska memiliki reproduksi secara seksual dan organ-organ reproduksinya terpisah pada individu lain, kecuali beberapa species yang merupakan hemaprodit. Pembuahan terjadi secara eksternal dan internal untuk menghasilkan zigot yang kemudian berkembang menjadi larva serta pada akhirnya menjadi individu dewasa. Klasifikasi Moluska dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat ini dibagi menjadi tujuh kelas, yang masing-masinng akan dipaparkan pada uraian di bawah ini. 1. Kelas Aplacophora Aplacophora adalah kelompok kecil Mollusca yang hidup di air dalam yang ditemukan di semua samudra dunia. Kelompok ini terdiri dari dua subkelas, yaitu Solenogastres dan Caudofoveata, di antara mereka mengandung 28 keluarga dan sekitar 320 spesies . Namun, hubungan kelompok ini dengan anggota kelas lain pada Mollusca jelas, dilihat dari sistem pencernaannnya yang memiliki radula. Aplacophora adalah hewan menggali seperti cacing, dengan sedikit kemiripan dengan kebanyakan moluska lainnya. Mereka tidak memiliki kerangka, meskipun kalsifikasi kecil spikula yang tertanam di kulit. Kebanyakan anggota kelas ini tidak memiliki kaki, meskipun beberapa spesies memiliki beberapa tonjolan kecil pada bagian bawah yang mungkin merupakan sisa kaki. Rongga mantel direduksi menjadi sederhana, kloaka yang merupakan anus dan organ ekskretoris kosong, terletak di ujung tubuh. Bagian dasar tubuhnya adalah kepala dan tidak memiliki mata atau tentakel. Beberapa spesies merupakan hermaprodit, namun sebagian besar memiliki dua jenis kelamin, dan berkembang biak dengan pembuahan eksternal. Selama masa pertumbuhan, rongga mantel larva meringkuk dan menutup, menciptakan seperti bentuk cacing dewasa. 2. Kelas Monoplacophora Hanya terdiri dari beberapa species, bentuknya mirip limpet (kerang topi) dengan lubang pengeluaran air pada apex atau puncaknya. Hidup di laut dalam dan jarang. 3. Kelas Polyplacophora Dikenal dengan istilah "chiton" - cangkangnya tersusun seperti genting ( beberapa di antaranya memiliki ornamen duri-duri ), terdiri dari beberapa species dan sebagian besar hidup di laut dalam. 4. Kelas Scapophoda Scapophoda memiliki kaki yang berada di daerah mulut, bercangkang seperti kerucut dan tanduk dengan kedua ujung cangkang berlubang, serta memiliki mantel. Contoh anggota kelas ini adalah Dentalium vulgare. 5. Kelas Gastropoda Gastropoda (dalam bahasa latin, gaster = perut, podos = kaki) adalah kelompok hewan yang menggunakan perut sebagai alat gerak atau kakinya. Misalnya, siput air (Lymnaea sp.), remis (Corbicula javanica), dan bekicot (Achatia fulica). Hewan ini memiliki ciri khas berkaki lebar dan pipih pada bagian ventrel tubuhnya. Gastropoda bergerak lambat menggunakan kakinya. Gastropoda darat terdiri memiliki sepasang tentakel panjang dan sepasang tentakel pendek, pada ujung tentakel panjang terdapat mata yang berfungsi untuk mengetahui gelap dan terang. Sedangkan pada tentakel pendek berfungsi sebagai alat peraba dan pembau. Gastropoda akuatik bernapas dengan insang, sedangkan Gastropoda darat bernapas menggunakan rongga mantel. a. Subkelas Prosobranchia - bernapas menggunakan insang, bercangkang tunggal, sebagian besar anggotanya merupakan siput-siput yang hidup di air laut, termasuk daerah pasang surut dan muara sungai. Bentuk cangkangnya sangat beraneka ragam, mulai dari yang sangat sederhana, berbentuk topi ( dari keluarga Patellidae - biasa disebut "limpet" atau "kerang topi"; merupakan salah satu makanan khas Hawaii yang disajikan mentah, disebut "opihi"), berbentuk tabung yang melingkar tak beraturan ( misalnya Siliquaria anguina atau worm tube ), namun mayoritas berbentuk spiral atau bergelung, baik dekstral ( mengikuti arah jarum jam ) maupun sinistral (berlawanan arah jarum jam). b. Subkelas Opistobranchia - bernapas menggunakan insang yang terletak di bagian belakang, ada yang bercangkang, namun ada juga yang tak bercangkang, biasa disebut nudibranch atau "kelinci laut", ada juga yang dijuluki "Spanish Dancer" karena berwarna merah dan bisa berenang di laut bagaikan gaun penari rakyat Spanyol atau pun Amerika Latin. c. Subkelas Pulmonata - hidup di darat, bernapas dengan paru-paru, dan sebagian besar anggotanya adalah hermafrodit ( berkelamin ganda ). Contoh jenis yang bercangkang adalah bekicot/ Giant African Snail (Achatina fullica / A.variegata), escargot (Helix pomatia...Yum!), sementara yang tak bercangkang adalah keong bugil/siput telanjang. 6. Kelas Pelecypoda Pelecypoda diidentefikasikan sebagai kerang (Anadara sp.), tiram mutiara (Pinctada margaritifera dan Pinctada mertinsis), kerang raksasa (Tridacna sp.), dan kerang hijau (Mytilus viridis). Pelecypoda memiliki ciri khas, yaitu kaki berbentuk pipih seperti kapak. Pelecypoda memiliki ciri khas, yaitu kaki dapat dijulurkan dan digunakan untuk melekat atau menggali pasir dan lumpur. Pelecypoda ada yang hidup menetap dan membenamkan diri di dasar perairan atau pun melekat pada bebatuan, cangkang hewan lain, atau perahu karena mensekresikan zat perekat. Pelecypoda memiliki dua buah cangkang pipih yang setangkup sehingga disebut juga Bivalvia. Kedua cangkang pada bagian tengah dorsal dihubungkan oleh jaringan ikat (ligamen) yang berfungsi seperti engsel untuk membuka dan menutup cangkang dengan cara mengencangkan dan mengendurkan otot, cangkang tersusun dari lapisan periostrakum, prismatik, dan nakreas. Pada tiram mutiara, jika di antara mantel dan cangkangnya masuk benda asing seperti pasir, lama-kelamaan akan terbentuk mutiara. Mutiara terbentuk karena benda asing tersebut terbungkus oleh hasil sekresi palisan cangkang nakreas. Pelecypoda tidak memiliki kepala, mulutnya terdapat pada rongga mantel, dilengkapi dengan labial palpus. Pelecypoda tidak memiliki rahang atau radula, makanannya berupa hewan kecil seperti protozoa, diatom, dan sejenis lainnya. Insang Pelecypoda berbentuk lembaran sehingga hewan ini disebut juga Lamellibranchiata (dalam bahasa latin, lamella = lembaran, branchia = insang). Lembaran insang dalam rongga mantel menyaring makanan dari air yang masuk kedalam rongga mantel melalui sifon (corong). Sistem saraf Pelecypoda terdiri dari tiga pasang ganglion yang saling berhubungan.Tiga ganglion tersebut adalah ganglion anterior, ganglion pedal, dan ganglion posterior. Reproduksi Pelecypoda terjadi secara seksual.Organ seksual terpisah pada masing-masing individu. Fertilisasi terjadi secara internal maupun eksternal. Pembuahan menghasilkan zigot yang kemudian akan menjadi larva. Secara khusus, kelas ini dapat dipilah-pilah lagi, seperti yang diuraikan di bawah ini: a. Tiram atau Oyster - sebagian besar anggotanya memiliki cangkang yang tak beraturan bentuknya karena mengikuti bentuk tempat ia bertumbuh ( umumnya batu ). Contohnya adalah tiram mutiara (Pinctada margarittifera / P.maxima). Ada juga yang memiliki cangkang sangat tipis dan bening ( dalam bahasa Inggris disebut "Capiz", biasa digunakan sebagai chandelier yang bisa bersuara merdu jika tertiup angin ( salah satunya dari species Placuna placenta). b. Mussel - jenis-jenis kerang yang memiliki serabut perekat untuk bertaut pada bebatuan - mereka juga hidup & tumbuh berkelompok. Contohnya adalah kerang hijau atau green mussel (Perna viridis). c. Kerang simping atau scallop - biasanya memiliki cangkang melebar dan datar (flat)- mereka bisa "berenang" dengan membuka dan mengatupkan cangkangnya. Contohnya adalah Noble Scallop (Pecten nobilis). Cangkang simping umumnya cukup indah untuk digunakan sebagaiornamenataubarangkerajinan. d. Kima atau clam - ada yang bertubuh kecil, maupun sangat besar. Di beberapa tempat, kima terancam kepunahan karena cangkangnya dieksploitasi secara besar-besaran sebagai bahan baku ubin teraso ( di Indonesia ), atau untuk diambil otot aductor-nya sebagai bahan baku aphrodisiac. Beberapa di antaranya juga hidup di air tawar, seperti remis (Corbicula javanica); bahkan di sungai daerah Pangalengan yang airnya dingin pun juga terdapat kerang air tawar berukuran kecil ( mohon dibantu jika ada yang tahu nama speciesnya ). Dalam bahasa Indonesia beberapa species yang digolongkan sebagai "clam" dalam bahasa Inggris, cukup dipanggil sebagai "kerang" ( sebab dalam bahasa Indonesia, istilah "kima" mengacu pada kerang-kerang berukuran sangat besar ). e. Cockle - umumnya memiliki cangkang bergerigi dan bertubuh tidak terlalu besar; contohnya: kerang darah (Anadara granosa) yang biasa disajikan di restoran seafood. 7. Kelas Cephalopoda Cephalopoda (dalam bahasa latin, chepalo = kepala, podos = kaki) merupakan Mollusca yang memiliki kaki di kepala. Anggota Cephalopoda misalnya sotong (Sepia officinalis), cumi-cumi (Loligo sp.), dan gurita (Octopus sp.). Anggota kelas ini hidup berenang di laut, memiliki 8 kaki atau tentakel berpenghisap di kepalanya, terdiri dari lebih dari 1000 species di seluruh dunia. Sebagian anggotanya merupakan hewan lunak atau mollusca yang memiliki intelegensi tertinggi serta ukuran tubuh terbesar. Seekor cumi-cumi raksasa konon dapat mencapai panjang tubuh sekitar 17 m. Hidup Cephalopoda seluruhnya di laut dengan merayap atau berenang di dasar laut, makanannya berupa kepiting atau invertebrata lainnya. Sebagai hewan pemangsa, hampir semua Cephalopoda bergerak cepat dengan berenang, dan kebanyakan memiliki organ pertahanan berupa kantong tinta yang berisikan cairan seperti tinta berwarna coklat atau hitam yang terletak di ventral tubuhnya. Tinta ini akan di keluarkan jika hewan ini merasa terancam dengan cara menyemburkannya. Cephalopoda memiliki kaki berupa tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsanya. Cephalopoda memiliki sistem saraf yang berpusat di kepalanya menyerupai otak.Untuk reproduksi hewan ini berlangsung secara seksual. Cephalopoda memiliki organ reproduksi berumah dua (dioseus). Pembuahan berlangsung secra internal dan menghasilkan telur. Berikut beberapa anggota kelas Cephalopoda: a. Cumi-cumi atau squid - berasal dari genus Loligo sp. ( keluarga Loliginidae) b. Sotong atau cuttlefish - berasal dari genus Sepia sp. - tubuhnya cenderung lebih besar atau "gemuk" dibandingkan cumi-cumi. Beberapa speciesnya memiliki "cangkang" berupa lempengan kapur berbentuk papan selancar di punggungnya. c. Gurita atau octopus - berasal dari keluarga Octopodidae. Dagingnya cukup sedap dimakan sebagai masakan atau dimakan mentah - namun hati-hati, ada juga yang berbahaya, salah satunya adalah Blue Ring Octopus. d. Nautilus - mereka bercangkang, berasal dari keluarga Nautilidae (Chambered Nautilus) dan Agronautidae (Paper Nautilus). Peranan Moluska Menguntungkan • Sumber makanan berprotein tinggi, misalnya tiram batu (Aemaea sp.), kerang (Anadara sp.), kerang hijau (Mytilus viridis), Tridacna sp., sotong (Sepia sp.) cumi-cumi (Loligo sp.), remis (Corbicula javanica), dan bekicot (Achatina fulica). • Perhiasan, misalnya tiram mutiara (Pinctada margaritifera). • Hiasan dan kancing, misalnya dari cangkang tiram batu, Nautilus, dan tiram mutiara. • Bahan baku teraso, misalnya cangkang Tridacna sp. Merugikan Bekicot dan keong sawah yang merupakan hama dari tanaman. Siput air adalah perantara cacing Fasciola hepatica.

ABSISI DAUN


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Absisi adalah suatu proses yang terjadi secara alami yaitu pemisahan bagian atau organ tanaman, seperti daun, bunga, buah atau batang. Menurut Addicot (1964) maka dalam proses absisi ini factor alami seperti panas, dingin, kekeringan akan berpengaruh terhadap absisi. Proses  penurunan  kondisi  yang menyertai pertambahan umur yang mengarah kepada kematian organ atau organisme disebut penuaan (senensensi). Gugurnya daun dipacu juga oleh faktor lingkungan, termasuk panjang hari yang pendek pada musim gugur dan suhu yang rendah. Rangsangan dari factor lingkungan ini menyebabkan perubahan keseimbangan antara etilen dan auksin. Auksin mencegah absisi dan tetap mempertahankan proses metabolism daun, tetapi dengan bertambahnya umur daun, jumlah etilen yang dihasilkan juga akan meningkat. Sementara itu, sel-sel  yang mulai  menghasilkan  etilen  akan mendorong pembentukan lapisan absisi. Selanjutnya etilen merangsang lapisan absisi terpisah dengan memacu sintesis enzim yang merusak dinding-dinding sel pada lapisan absisi.
Berdasarkan paparan uraian di atas, maka penulis melakukan percobaan untuk mengetahui pengaruh hormon AIA terhadan absisis daun.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
Bagaimanakah pengaruh hormon AIA terhadap proses absisi daun?

C.    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari makalah ini adalah:
Mengetahui pengaruh hormon AIA terhadap proses absisi daun.



BAB II
KAJIAN TEORI

Absisi adalah suatu proses secara alami terjadinya pemisahan bagian atauorgan tanaman, seperti: daun, bunga, buah atau batang. Menurut Addicot (1964)maka dalam proses absisi ini faktor alami seperti: panas, dingin, kekeringan akanberpengaruh terhadap absisi. Dalam hubungannya dengan hormon tumbuh, manamungkin hormon ini akan mendukung atau menghambat proses tersebut.
Peranan Hormon dalam Absisi Daun
Mengenai hubungan antara absisi dengan zat tumbuh auksin, Addicot Etall (1955) mengemukakan bahwa absisi akan terjadi apabila jumlah auksin yang ada di daerah proksimal sama atau lebih dari jumlah auksin yang terdapat didaerah distal. Tetapi apabila junlah auksin berada di daerah distal lebih besar daridaerah proksimal maka tidak akan terjadi absisi. Dengan kata lain proses absisi iniakan terlambat. Teori lain (Biggs dan Leopld 1957, 1958) menerangkan bahwa pengaruh auksin terhadap absisi ditentukan oleh konsentrasi auksin itu sendiri.Konsentrasi auksin yang tinggi akan menghambat terjadinya absisi, sedangkanauksin dengan konsentrasi rendah akan mempercepat terjadinya absisi. Teoriterakhir ditentukan oleh Robinstein dan Leopold (1964) yang menerangkan bahwarespon absisi pada daun terhadap auksin dapat dibagi ke dalam dua fase jika perlakuan auksin diberikan setelah auksin terlepas. Fase pertama, auksin akan menghambat absisi dan fase kedua auksin dengan konsentrasi yang sama akan mendukung terjadinya absisi
Peranan etilen dalam memacu gugurnya daun lebih banyak diketahui daripada peranannya dalam  hal  perubahan  warna  daun  yang  rontok  dan pengeringan daun. Pada saat daun rontok, bagian pangkal tangkai daunnya terlepas  dari batang. Daerah yang terpisah  ini  disebut  lapisan absisi  yang merupakan areal sempit yang tersusun dari sel-sel parenkima berukuran kecildengan dinding sel yang tipis dan lemah. Setelah daun rontok, daerah absis imembentuk parut/luka pada batang. Sel-sel yang mati menutupi parut untuk membantu melindungi tumbuhan terhadap patogen. Dari gambaran teori di atas maka untuk dapat mengetahui  pengaruh AIA terhadap  proses  absisi daun, dilakukan percobaan pada tanaman Coleus sp.
Gugurnya daun dipacu juga oleh faktor lingkungan, termasuk panjang hariyang pendek pada musim gugur dan suhu yang rendah. Rangsangan dari faktor lingkungan ini menyebabkan perubahan keseimbangan antara etilen dan auksin.Auksin mencegah absisi dan tetap mempertahankan proses metabolisme daun,tetapi dengan bertambahnya umur daun jumlah etilen yang dihasilkan juga akan meningkat. Sementara itu, sel-sel  yang mulai  menghasilkan  etilen  akan mendorong pembentukan lapisan absisi. Selanjutnya etilen merangsang lapisan absisi yang terpisah dengan memacu sintesis enzim yang merusak dinding-dinding sel pada lapisan absisi. Peranan etilen dalam memacu gugurnya daun lebih banyak diketahui daripada  peranannya dalam  hal  perubahan warna  daun  yang rontok  dan pengeringan daun. Pada saat daun rontok, bagian pangkal tangkai daunnya terlepas  dari  batang. Daerah yang terpisah  ini disebut lapisan absisi  yang merupakan areal sempit yang tersusun dari  sel-sel parenkima berukuran keci dengan dinding sel yang tipis dan lemah.Proses pencernaan dinding, yang  disertai  dengan  tekanan  akibat pertumbuhan yang tidak imbang antara sel proksimal yang  membesar dan sel distal yang menua di zona absisi, mengakibatkan pematahan. Selama konsentrasi auksin yang lebih tinggi dipertahankan di helai daun, pengguguran dapat ditundanamun penuaan menyebabkan penurunan tingkat auksin pada organ tersebut dankonsentrasi etilen mulai meningkat. Etilen, zat pemacu pengguguran yang terkuat dan tersebar luas diberbagai organ tumbuhan dan pada banyak spesies tumbuhan menyebabkan pembesaran sel dan menginduksi sintesis serta sekresi hidrolase pengurai dinding sel. Ini akibat efeknya pada transkripsi, sebab jumlah molekul mRNA yang menjadikan hidrolase (paling tidak selulase) meningkatkan sekali setelah diberi perlakuan etilen.
Gugur daun pada musim gugur merupakan adaptasi tumbuhan untuk mencegah kehilangan air melalui penguapan pada musim salju karena pada saat itu akar tidak mampu menyerap air pada tanah yang membeku. Bagi tumbuhan, gugurnya daun ini berguna untuk membuang organ yang tidak berguna yang mungkin sebagai sumber infeksi yang potensial dan pada beberapa spesies untuk memberi tempat bagi daun baru yang akan tumbuh pada musim berikutnya, (Vidy, 2009).



BAB III
METODOLOGI

A.    Jenis Penelitian
Jenis percobaan yang yang dilakukan adalah percobaan eksperimental, karena percobaan yang dilakukan menggunakan variable-variabel (manipulasi, kontrol, respon) dan percobaan ini dilakuan di Laboratorium C10 Fisio Jurusan Biologi FMIPA, Unesa.

B.     Variabel-Variabel
·         Variabel Manipulasi    :  Perlakuan yang diberikan
-          diolesi lanolin
-          diolesi 1 ppm AIA dalam lanolin
·         Variabel Kontrol         : Jenis tumbuhan (Coleus sp.), media tanam, dan waktu pemotongan
·         Variabel Respon          : Gugurnya daun.

C.    Alat dan Bahan
Alat:                                        Bahan:
-Pot                                         -2 tanaman Coleus sp. yang memiliki kondisi yang sama
-Pisau                                      -Lanolin
-Kertas label                            - AIA 1 ppm dalam lanolin (4 ml AIA 1 ppm dicampur dengan 100 gr lanolin)

D.    Langkah Kerja
1.      Menyiapkan bahan dan alat yang diperlukan.
2.      Mengambil dua pot tanaman Coleus sp. kemudian melakukan kegiatan sebagai berikut:
- Pot 1 : memotong satu pasang lamina yang terletak paling bawah
- Pot 2 : memotong satu pasang lamina yang terletak tepat di atas lamina yang paling bawah
3.      Mengolesi bekas potongan tersebut, yang satu dengan lanolin, sedang yang lain dengan 1 ppm AIA dalam lanolin.
4.      Memberi tanda agar tidak tertukar.
5.      Mengamati setiap hari dan mencatat waktu gugurnya tangkai-tangkai daun tersebut.

6.      Kerangka Berfikir
Rounded Rectangle: Mengolesi bekas potongan dengan:
-Lanolin
-1 ppm AIA dalam lanolin
Memberi tanda untuk setiap potongan
 
Rounded Rectangle: Mengamati setiap hari dan mencatat waktu gugurnya tangkai daun tersebut.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Hasil
Tabel 1. Pengaruh AIA terhadap Proses Absisis Daun Coleus sp.
Letak Daun
Pengulangan ke-
Lanolin
Lanolin  + IAA
Gugur pada pengamatan ke-
Gugur pada pengamatan ke-
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Paling Bawah
1
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -
2
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -
Ke-2 dari bawah
1
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -
2
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -



Diagram


B.     Analisis
Berdasarkan hasil dan histogram diatas, maka penelitian absisi daun iler dapat dianalisis bahwa tangkai daun iler nodus terakhir yang telah diolesi dengan lanolin akan lebih cepat gugur daunya atau absisi pada hari ke-1 dan ke-2, sedangkan pada nodus 2 terakhir yang diolesi oleh lanolin dan hormone IAA akan terjadi absisi atau pengguguran daun pada hari ke-1 dan ke-2.
       Pada nodus terakhir, tangkai daun iler yang telah diolesi oleh lanolin akan gugur atau terjadi absisi pada hari ke-3 dan ke-4, sedangkan tangkai daun iler yang diolesi lanolin dan hormone IAA akan gugur pada hari ke-4 dan ke-4 juga. Tapi berdasarkan perhitungan waktu, tangkai daun yang diolesi dengan lanolin akan lebih cepat gugur daripada tangkai daun yang diolesi dengan lanolin dan hormone IAA.

C.    Pembahasan
Berdasarkan analisis data diatas, maka dari penelitian absisi daun iler (Coleus sp) terdapat perbedaan waktu terjadinya pengguguran tangkai daun iler atau peristiwa absisi. Pada tangkai daun yang diolesi dengan lanolin akan lebih cepat gugur daripada tangkai daun iler yang diolesi lanolin dan hormone IAA. Letak tangkai daun juga mempengaruhi proses absisi (penguguran) daun ini, hal ini dibuktikan dengan letak tangkai daun pada nodus terakhir jauh lebih cepat gugur daripada letak tangkai daun iler pada nodus diatas terakhir.
Pada tanaman jika akan mengalami gugur daun, baik daun, bunga atau buah, didahului oleh adanya pembentukan lapisan absisi. Lapisan ini terbentuk melintasi tangkai di dekat pertautannya dengan batang. Lapisan ini terdiri dari 1 lapisan atau sel parenkim berdinding tipis yang berasal dari pembelahan antiklinal melintasi tangkai.
Daun semdiri akan mengalami gugur daun. Untuk tanaman iler daun yang tua berada dibawah. Ini berarti daun yang berada dibawah akan lebih dahulu gugur dari pada daun yang terletak diatas. Pada percobaan ini tangkai daun yang terletak diatas dan dibawah gugur pada waktu yang bersamaan. Ini dikarenakan tangkai daun telah diolesi lanolin, sehingga merangsang tangkai untuk gugur.


ABSISI DAUN


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Absisi adalah suatu proses yang terjadi secara alami yaitu pemisahan bagian atau organ tanaman, seperti daun, bunga, buah atau batang. Menurut Addicot (1964) maka dalam proses absisi ini factor alami seperti panas, dingin, kekeringan akan berpengaruh terhadap absisi. Proses  penurunan  kondisi  yang menyertai pertambahan umur yang mengarah kepada kematian organ atau organisme disebut penuaan (senensensi). Gugurnya daun dipacu juga oleh faktor lingkungan, termasuk panjang hari yang pendek pada musim gugur dan suhu yang rendah. Rangsangan dari factor lingkungan ini menyebabkan perubahan keseimbangan antara etilen dan auksin. Auksin mencegah absisi dan tetap mempertahankan proses metabolism daun, tetapi dengan bertambahnya umur daun, jumlah etilen yang dihasilkan juga akan meningkat. Sementara itu, sel-sel  yang mulai  menghasilkan  etilen  akan mendorong pembentukan lapisan absisi. Selanjutnya etilen merangsang lapisan absisi terpisah dengan memacu sintesis enzim yang merusak dinding-dinding sel pada lapisan absisi.
Berdasarkan paparan uraian di atas, maka penulis melakukan percobaan untuk mengetahui pengaruh hormon AIA terhadan absisis daun.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
Bagaimanakah pengaruh hormon AIA terhadap proses absisi daun?

C.    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari makalah ini adalah:
Mengetahui pengaruh hormon AIA terhadap proses absisi daun.



BAB II
KAJIAN TEORI

Absisi adalah suatu proses secara alami terjadinya pemisahan bagian atauorgan tanaman, seperti: daun, bunga, buah atau batang. Menurut Addicot (1964)maka dalam proses absisi ini faktor alami seperti: panas, dingin, kekeringan akanberpengaruh terhadap absisi. Dalam hubungannya dengan hormon tumbuh, manamungkin hormon ini akan mendukung atau menghambat proses tersebut.
Peranan Hormon dalam Absisi Daun
Mengenai hubungan antara absisi dengan zat tumbuh auksin, Addicot Etall (1955) mengemukakan bahwa absisi akan terjadi apabila jumlah auksin yang ada di daerah proksimal sama atau lebih dari jumlah auksin yang terdapat didaerah distal. Tetapi apabila junlah auksin berada di daerah distal lebih besar daridaerah proksimal maka tidak akan terjadi absisi. Dengan kata lain proses absisi iniakan terlambat. Teori lain (Biggs dan Leopld 1957, 1958) menerangkan bahwa pengaruh auksin terhadap absisi ditentukan oleh konsentrasi auksin itu sendiri.Konsentrasi auksin yang tinggi akan menghambat terjadinya absisi, sedangkanauksin dengan konsentrasi rendah akan mempercepat terjadinya absisi. Teoriterakhir ditentukan oleh Robinstein dan Leopold (1964) yang menerangkan bahwarespon absisi pada daun terhadap auksin dapat dibagi ke dalam dua fase jika perlakuan auksin diberikan setelah auksin terlepas. Fase pertama, auksin akan menghambat absisi dan fase kedua auksin dengan konsentrasi yang sama akan mendukung terjadinya absisi
Peranan etilen dalam memacu gugurnya daun lebih banyak diketahui daripada peranannya dalam  hal  perubahan  warna  daun  yang  rontok  dan pengeringan daun. Pada saat daun rontok, bagian pangkal tangkai daunnya terlepas  dari batang. Daerah yang terpisah  ini  disebut  lapisan absisi  yang merupakan areal sempit yang tersusun dari sel-sel parenkima berukuran kecildengan dinding sel yang tipis dan lemah. Setelah daun rontok, daerah absis imembentuk parut/luka pada batang. Sel-sel yang mati menutupi parut untuk membantu melindungi tumbuhan terhadap patogen. Dari gambaran teori di atas maka untuk dapat mengetahui  pengaruh AIA terhadap  proses  absisi daun, dilakukan percobaan pada tanaman Coleus sp.
Gugurnya daun dipacu juga oleh faktor lingkungan, termasuk panjang hariyang pendek pada musim gugur dan suhu yang rendah. Rangsangan dari faktor lingkungan ini menyebabkan perubahan keseimbangan antara etilen dan auksin.Auksin mencegah absisi dan tetap mempertahankan proses metabolisme daun,tetapi dengan bertambahnya umur daun jumlah etilen yang dihasilkan juga akan meningkat. Sementara itu, sel-sel  yang mulai  menghasilkan  etilen  akan mendorong pembentukan lapisan absisi. Selanjutnya etilen merangsang lapisan absisi yang terpisah dengan memacu sintesis enzim yang merusak dinding-dinding sel pada lapisan absisi. Peranan etilen dalam memacu gugurnya daun lebih banyak diketahui daripada  peranannya dalam  hal  perubahan warna  daun  yang rontok  dan pengeringan daun. Pada saat daun rontok, bagian pangkal tangkai daunnya terlepas  dari  batang. Daerah yang terpisah  ini disebut lapisan absisi  yang merupakan areal sempit yang tersusun dari  sel-sel parenkima berukuran keci dengan dinding sel yang tipis dan lemah.Proses pencernaan dinding, yang  disertai  dengan  tekanan  akibat pertumbuhan yang tidak imbang antara sel proksimal yang  membesar dan sel distal yang menua di zona absisi, mengakibatkan pematahan. Selama konsentrasi auksin yang lebih tinggi dipertahankan di helai daun, pengguguran dapat ditundanamun penuaan menyebabkan penurunan tingkat auksin pada organ tersebut dankonsentrasi etilen mulai meningkat. Etilen, zat pemacu pengguguran yang terkuat dan tersebar luas diberbagai organ tumbuhan dan pada banyak spesies tumbuhan menyebabkan pembesaran sel dan menginduksi sintesis serta sekresi hidrolase pengurai dinding sel. Ini akibat efeknya pada transkripsi, sebab jumlah molekul mRNA yang menjadikan hidrolase (paling tidak selulase) meningkatkan sekali setelah diberi perlakuan etilen.
Gugur daun pada musim gugur merupakan adaptasi tumbuhan untuk mencegah kehilangan air melalui penguapan pada musim salju karena pada saat itu akar tidak mampu menyerap air pada tanah yang membeku. Bagi tumbuhan, gugurnya daun ini berguna untuk membuang organ yang tidak berguna yang mungkin sebagai sumber infeksi yang potensial dan pada beberapa spesies untuk memberi tempat bagi daun baru yang akan tumbuh pada musim berikutnya, (Vidy, 2009).



BAB III
METODOLOGI

A.    Jenis Penelitian
Jenis percobaan yang yang dilakukan adalah percobaan eksperimental, karena percobaan yang dilakukan menggunakan variable-variabel (manipulasi, kontrol, respon) dan percobaan ini dilakuan di Laboratorium C10 Fisio Jurusan Biologi FMIPA, Unesa.

B.     Variabel-Variabel
·         Variabel Manipulasi    :  Perlakuan yang diberikan
-          diolesi lanolin
-          diolesi 1 ppm AIA dalam lanolin
·         Variabel Kontrol         : Jenis tumbuhan (Coleus sp.), media tanam, dan waktu pemotongan
·         Variabel Respon          : Gugurnya daun.

C.    Alat dan Bahan
Alat:                                        Bahan:
-Pot                                         -2 tanaman Coleus sp. yang memiliki kondisi yang sama
-Pisau                                      -Lanolin
-Kertas label                            - AIA 1 ppm dalam lanolin (4 ml AIA 1 ppm dicampur dengan 100 gr lanolin)

D.    Langkah Kerja
1.      Menyiapkan bahan dan alat yang diperlukan.
2.      Mengambil dua pot tanaman Coleus sp. kemudian melakukan kegiatan sebagai berikut:
- Pot 1 : memotong satu pasang lamina yang terletak paling bawah
- Pot 2 : memotong satu pasang lamina yang terletak tepat di atas lamina yang paling bawah
3.      Mengolesi bekas potongan tersebut, yang satu dengan lanolin, sedang yang lain dengan 1 ppm AIA dalam lanolin.
4.      Memberi tanda agar tidak tertukar.
5.      Mengamati setiap hari dan mencatat waktu gugurnya tangkai-tangkai daun tersebut.

6.      Kerangka Berfikir
Rounded Rectangle: Mengolesi bekas potongan dengan:
-Lanolin
-1 ppm AIA dalam lanolin
Memberi tanda untuk setiap potongan
 
Rounded Rectangle: Mengamati setiap hari dan mencatat waktu gugurnya tangkai daun tersebut.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Hasil
Tabel 1. Pengaruh AIA terhadap Proses Absisis Daun Coleus sp.
Letak Daun
Pengulangan ke-
Lanolin
Lanolin  + IAA
Gugur pada pengamatan ke-
Gugur pada pengamatan ke-
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Paling Bawah
1
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -
2
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -
Ke-2 dari bawah
1
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -
2
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -
 -



Diagram


B.     Analisis
Berdasarkan hasil dan histogram diatas, maka penelitian absisi daun iler dapat dianalisis bahwa tangkai daun iler nodus terakhir yang telah diolesi dengan lanolin akan lebih cepat gugur daunya atau absisi pada hari ke-1 dan ke-2, sedangkan pada nodus 2 terakhir yang diolesi oleh lanolin dan hormone IAA akan terjadi absisi atau pengguguran daun pada hari ke-1 dan ke-2.
       Pada nodus terakhir, tangkai daun iler yang telah diolesi oleh lanolin akan gugur atau terjadi absisi pada hari ke-3 dan ke-4, sedangkan tangkai daun iler yang diolesi lanolin dan hormone IAA akan gugur pada hari ke-4 dan ke-4 juga. Tapi berdasarkan perhitungan waktu, tangkai daun yang diolesi dengan lanolin akan lebih cepat gugur daripada tangkai daun yang diolesi dengan lanolin dan hormone IAA.

C.    Pembahasan
Berdasarkan analisis data diatas, maka dari penelitian absisi daun iler (Coleus sp) terdapat perbedaan waktu terjadinya pengguguran tangkai daun iler atau peristiwa absisi. Pada tangkai daun yang diolesi dengan lanolin akan lebih cepat gugur daripada tangkai daun iler yang diolesi lanolin dan hormone IAA. Letak tangkai daun juga mempengaruhi proses absisi (penguguran) daun ini, hal ini dibuktikan dengan letak tangkai daun pada nodus terakhir jauh lebih cepat gugur daripada letak tangkai daun iler pada nodus diatas terakhir.
Pada tanaman jika akan mengalami gugur daun, baik daun, bunga atau buah, didahului oleh adanya pembentukan lapisan absisi. Lapisan ini terbentuk melintasi tangkai di dekat pertautannya dengan batang. Lapisan ini terdiri dari 1 lapisan atau sel parenkim berdinding tipis yang berasal dari pembelahan antiklinal melintasi tangkai.
Daun semdiri akan mengalami gugur daun. Untuk tanaman iler daun yang tua berada dibawah. Ini berarti daun yang berada dibawah akan lebih dahulu gugur dari pada daun yang terletak diatas. Pada percobaan ini tangkai daun yang terletak diatas dan dibawah gugur pada waktu yang bersamaan. Ini dikarenakan tangkai daun telah diolesi lanolin, sehingga merangsang tangkai untuk gugur.