BONJOUR

Hahay....
LET'S READ YOUR MIND :3

Cari Saja Disini

Minggu, 27 November 2011

Poligami dalam Islam

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sebelum Islam dikenal, bangsa Yahudi membolehkan poligami. Nabi Musa tidak melarang bahkan tidak membatasi sampai beberapa istri seseorang berpoligami itu. Kitab Talmud, tafsir hukum taurat membatasi jumlah istri dalam perkawinan poligami. Namun, umat yahudi pada akhir-akhir kembali menjalankan poligami tanpa membatasi jumlah istri. Beberapa ahli hukum yahudi ada yang melarang poligami tetapi ada yang membolehkan dengan sarat apabila istri pertama mandul. Bangsa romawi juga mengenal poligami karena kebanyakan raja-raja serta kasar mereka juga berpoligami. Seperti halnya bangsa di Yunani dimana Raja Silla beristri 5 orang, Julius Caesar beristri 4 orang sedangkan Pompius juga beristri 4 orang. Di negeri Athena malahan jumlah istri yang dipunya tidak dibatasi. Bangsa Mesir Kuno, India, Babilon dan bangsa-bangsa lain juga telah mengenal poligami tidak terkecuali bangsa arab sendiri. Ada yang beristri 10 hingga 17 orang, bahkan para sahabat sebelum masuk Islam telah memiliki istri lebih dari 4 orang. Setelah ayat Al-Qur’an yang membatasi jumlah istri dalam perkawinan poligami paling banyak 4 orang , Rasullah memerintahkan kepada para sahabat untuk memilh 4 orang istri saja yang paling mereka sukai, serta istri yang lain untuk diceraikan. I.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah kami uraikan, maka di dapat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah alasan dilakukannya poligami? 2. Apakah ketetapan syari’at tentang poligami? 3. Apakah syarat-syarat poligami? 4. Bagaimanakah hikmah di bolehkannya poligami? I.3 Tujuan Adapun tujuan dari makalah ini adalah: 1. Mengetahui alasan dilakukannya poligami 2. Mengetahui ketetapan syar’i tentang poligami 3. Mengetahui syarat-syarat poligami 4. Mengetahui apa saja hikmah yang di dapat dengan diprebolehkannya poligami. I.4 Landasan Teori Dasar hukum yang melandasi adanya poligami tedapat dalam Q.S An-Nisaa’ ayat 3 Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisaa’:3) BAB II PEMBAHASAN Islam adalah agama yang fitrah, agama yang sejalan dengan tuntutan watak dan sifat pembawaan kejadian manusia. Oleh karena itu, Islam memperhatikan kenyataan-kenyataan manusiawi kemudian mengaturnya agar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan. Salah satunya adalah poligami, dimana poligami itu sendiri berarti seorang lelaki yang memiliki istri lebih dari satu orang hingga empat orang sesuai batasan jumlah istri dalam ajaran agama Islam. Pada bab ini akan dipaparkan secara lebih jauh mengenai poligami dalam pandangan islam serta hukum Negara (Undang-Undang). II. 1 Alasan Poligami Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat di perbolehkan bila di kehendaki oleh pihak – pihak yang bersangkutandan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat 2 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat 2 Undang – Undang Perkawinan seperti yang diungkapkan sebagai berikut : Pengadilan Agama memberikan izin pada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang istri b.istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c.istri tidak dapat melahirkan keturunan. Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat dipahami bahwa alasan mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah, mawaddah, dan rahmah) berdasarkan Ketuhanan Yang MAha Esa. Apabila tiga alasan yang disebutkan diatas menimpa suami istri maka dapat dianggap rumah tanggatersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (sakinah, mawaddah dan rahmah). II. 2 Ketetapan Syari’at Tentang Poligami Allah SWT. Berfirman, “ Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempu yatim (bila kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisaa’:3). Ayat ini dimaksudkan kepada para pengasuh anak-anak perempuan yatim bahwa jika anak perempuan yatim berada di bawah pengasuhan salah seorang dari kalian, lalu ila menikahinya dia khawatir tidak akan memberikan mahar yang setara dengan yang lazim diberikan kepada wanita-wanita lain, maka jangan nikahi anak yatim itu melainkan menikahlah dingan perempuan lain. Sesungguhnya jumlah mereka sangat banyak gan Allah tidak mempersempit peluang untuk menikah dengan mereka, melainkan dapat menikah dengan satu hingga empat wanita. Tapi jika menikah dengan lebih dari satu wanita, dia khawatir tidak akan berbuat adil, maka wajib menahan diri dengan menikahi satu wanita saja, atau boleh saja menikahi hamba sahaya yang dimilikinya. II. 3 Syarat – Syarat Poligami Pasal 5 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut : 1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 undang – undang ini harus dipenuhi syarat – syarat sebagai berikut: a. adanya persetujuan dari istri/istri – istri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan – keperluan hidup istri – istri dan anak – anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri – istri dan anak – anak mereka. Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri – istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang – kurangnya duan tahun, atau karena sebab – sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakin Pengadilan Agama. 2. Prosedur Poligami Prosedur Poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58. kompilasi Hukum Islam sebagai berikut : Pasal 56 KHI 1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. 2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, todak mempunyai kekuatan hokum. Pasal 57 KHI Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Kalau Pengadilan Agama sudah menerima permohonan izin Poligami, kemudian ia memeriksa berdasarkan Pasal 57 KHI: a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi. b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tulisan. Apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidanh pengadilan. c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri – istrinya dan anak – anak, dengan memperlihatkan : d. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekarja, atau e. surat keterangan pajak penghasilan, atau suarat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan. Pasal 58 ayat 2 KHI Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri – istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama. Adapun tata cara teknis pemeriksaannya menurut pasal 42 PP Nomor 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut: 1. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal – hal pada Pasal 40 dan 41. pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. 2. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat – lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran – lampirannya. Apabila terjadi sesuatu dan lain hal, istri atau istri – istri tidak mungkin diminta persetujuannya atau tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 5 ayat 2 menegaskan: Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri – istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang – kurangnya duan tahun, atau karena sebab – sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakin Pengadilan (bandingkan juga pasal 58 KHI). Namun, bila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang (Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975). Kalau sang istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat 2 dan pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetepan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59 KHI). Apabila keputusan Hakim yang mempunyai kekuatan hokum tetap,izin pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan Pasal 44 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975. Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksaan poligami seperti telah diuraikan diatas mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai pencatat perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal – pasal diatas dikenakan sanksi pidana. Persoalan ini diatur dalam Bab IX Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975: 1. Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku maka: a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, Pasal 10 ayat 3, 40 Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hukuman denda setinggi – tingginya Rp7.500,00. b. Pegawai pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat 1, 11, 12, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama – lamanya 3 bulan atau denda setinggi – tingginya Rp7.500,00 2. Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat 1 diatas merupakan pelanggaran. Ketentuan hukum poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama, setelah dibuktikan kemasyalahatannya. Dengan kemasyalahatan dimaksud, terwujudnya cita – cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi atas dasar cinta dan kasih sayang yang diridlai oleh Allah SWT. Oleh karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut, sehingga mesti dihilangkan atau setidaknya dikurangi. Status hukum poligami adalah mubah. Mubah dimaksud, sebagai alternative untuk beristri hanya sebatas 4 orang istri. Hal itu ditegaskan oleh Pasal 55 KHI sebagai berikut : 1. Beristri lebih dari seorang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri. 2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri – istri dan anak – anaknya. 3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang. Dasar pertimbangan KHI adalah hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad,At-Tirmizi, dan Ibn Hibban yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya Gailan Ibn Salamah masuk Islam dan ia mempunyai 10 orang istri. Mereka bersama – sama masuk Islam. Maka Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang saja di antaranya dan diceraikan yang lainnya. II. 4 Hikmah Poligami Di sinilah kita temukan hikmah yang luhur di balik pemberlakuan poligami yang dibatasi dengan etika berikut. “…maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi:dua,tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja…” Poligami menjawab kebutuhan fitrah manusia dan realitas hidup, menjaga masyarakat dari perbuatan dosa. Sedangkan batasan-batasan yang menjadi aturan poligami akan mempertahankan kebutuhan keluarga agar tidak hancur dan tercerai berai, menjauhkan tindak kesewenang-wenangan dan kezaliman terhadap istri, menjaga kehormatan perempuan yang bias dirampas kapan saja serta menjamin keadilan yang terancam dan kenyataan pahit yang bakal diakibatkan. Siapapun orangnya yang mengetahui inti ajaran islam, tidak akan pernah mengatakan, poligami pada dasarnya adalah sebuah tuntutan dan sunah tanpa melihat apakah terdapat ada sebab yang mendesak ataukah tidak. Jika tidak maka yang terjadi poligami hanya akan digunakan untuk mencari kepuasan nafsu belaka dan berganti-ganti istri, layaknya “perselingkuhan”. Kemudian yang ada bukan menyelesaikan masalah justru akan menambah masalah semakin runyam dan mengganti luka lama denga luka yang baru lagi. Poligami diperbolehkan dalam agama Islam bukan untuk memenuhi nafsu birahi, tanpa etika dan batasan yang diperuntukkan untuk menghadapi realitas hidup. Seandainya dari generasi ke generasi menyalahgunakan poligami dan menjadikannya kesempatan untuk menyulap kehidupan rumah tangga layaknya tontonan nafsu binatang ataupun bermaksud berganti-ganti pasangan dan merendahkan kehormatan wanita, maka jangan salahkan agama Islam. Karena, bagaimanapun mereka bukanlah cerminan yang utuh dari Islam. Tindakan mereka justru telah menyimpang dari ajaran Islam dan sama sekali tidak memahami spiritnya yang luhur nan agung. Sebab mereka sendiri hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak menerapkan prinsip dan syariat Islam. Justru masyarakat yang membangkang dan berpaling dari syariatlah yang paling bertanggung jawab ats kekacauan ini. Bertanggung jawab atas pencorengan nama baik perempuan dan penyalah gunaan poligami. Barang siapa yang bermaksud memperbaiki kondisi ini, hendaknya ia mengembalikan kepada agama Islam secara utuh, bukan setengah-setengah. Mulai dari syariat, jalan hidup, kebersihan, kesucian, dan konsistensi. Karena Islam adalah tatanan yang integral dan akan efektif jika disajikan secara sempurna dan menyeluruh. Adapun adil yang dimaksud adalah adil dalam bergaul, serta memberikan nafkah lahir dan batin. Sedangkan soal adil membagi cinta dan perasaan, adalah diluar batas kemampuan manusia, tidak seorangpun mampu melakukannya, katagori adil inilah yang ditegaskan Allah dalam ayat yang lain. “Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), mak sungguh, Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (An-Nisa’ [4]: 129) Sebagian orang berusaha menjadikan ayat ini sebagai dalil pelarangan poligami. Meski upaya mereka gagal. Karena pada dasarnya syariat Allah tidak sesederhana itu. Di satu sisi mengharamkan suatu perkara, namun disaat yang sama pula ia menghalalkannya. Adil yang menyebab poligami dilarang dalam ayat pertama adalah apabila ia khawatir tidak bisa berbuat adil dalam bergaul, memberikan nafkah baik lahir maupun batin dan membagi perkara duniawi lainnya. Sehingga dalam persoalan ini, seorang suami tidak menzhalimi salah satu istrinya. Setidaknya perbuatan adil yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah suri tauladan yang baik. Meski tidak dapat dipungkiri, ketika itu dari kesekian istri yang mendampinginya, Aisyahlah sosok yang paling beliau cintai melebihi cintanya terhadap istri yang lain. Tiada seorang pun yang mampu mendustai hatinya. Karena, hati selalu dalam kuasa Allah, Dia akan lakukan apa saja yang Ia kehendaki. Hal inilah yang disadari Rasulullah SAW, maka beliau senantiasa berdo’a, ”Ya Allah, sebatas inilah kemampuan yang hamba miliki, maka janganlah Engkau menuntuut hamba dengan sesuatu yang Engkau miliki, sedangkan hamba yang tidak memilikinya.” Sebelum melangkah jauh, kita ulangi sekali lagi bahwa Islam tidak pernah melarang poligami, hanya membatasinya. Begitu juga tidak menyerukan poligami secara mutlak, namun sebuah keringanan yang diberi batasan-batasan tertentu. Poligami diperbolehkan dalam rangka mengatasi fenomena di masyarakat dan kebutuhan fitrah manusia. Fakta inilah yang muncul sampai sekarang. Tidak ada yang bisa menebak, apa yang kelak terjadi pada generasi dan kondisi mendatang. Sejarahpun telah membuktikan, manusia seringkali tidak bisa menangkap hikmah dan maslahat dari sebuah tuntunan dan ajaran Ilahi. Antara hikmah dan maslahat, keduanya adalah keniscayaan di setiap syari’at Allah sepanjang masa, baik yang telah diketahui akal manusia maupun tidak dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.Oleh karena itu, di perlukan suatu sistem dan aturan; dari sini setidaknya kita akan di hadapkan kepada tiga pilihan berikut. 1. Setiap lelaki hanya memiliki satu pendamping hidup, kemudian membiarkan wanita yang lain menghadapi kenyataan pahit untuk tidak menikah dan menghabiskan hidup mereka tanpa seorang suami. 2. Seorang lelaki hanya mempunyai satu istri yang sah, namun di sisi lain ia diberi kebebasan untuk berselingkuh dengan perempuan yang belum beruntung mempunyai pasangan, di samping itu memberikan hubungan gelap dan haram di antara mereka terus berlangsung. 3. Seorang lelaki melakukan poligami secara sah dan menikah secara terhormat. Dan mengatakan tidak untuk berselingkuh serta perzinaan yang haram. Pilihan pertama melawan fitrah dan potensi seorang wanita apalagi melihat kenyataan bahwa ia tidak berkesempatan untuk menikah. Sedangkan pernyataan yang acap kali dilontarkan para musuh islam bahwa seorang wanita sudah tidak lagi membutuhkan suami karena telah mampu bekerja dan berkarier sendiri, tidak bisa dibenarkan. Persoalan fitrah manusia tidak sesederhana dari apa yang mereka pikirkan. Segudang aktivitas dan sejibun karier tidak akan menggantikan kebutuhan fitrah mereka sebagai wanita normal. Yang memerlukan kebutuhan beiologis, birahi, spiritual, akal, tempat tinggal, ataupun bercengkrama dengan keluarga. Begitu sebaliknya. Kendatipun seorang lelaki mampu bekerja dan beraktivitas, tetapi itu tidak cukup baginya. Bagaimanapun ia membutuhkan sebuah keluarga. Antara laki-laki dan perempuan saling membutuhkan layaknya satu tubuh yang sama. Pilihan kedua bertentangan dengan ajaran islam yang suci dan mematahkan sendi masyarakat islami yang terjaga serta merusak kehormatan seorang perempuan. Golongan yang membiarkan kemaksiatan merebak di masyarakat, sejatinya mereka telah menghina Allah dan meninjak-injak syari’atnya. Na’ifnya, tidak ada satupun yang berani mencegah; mereka pun lantas melenggang dengan gemulainya, bahkan tak jarang mereka mendapat dukungan dan motivasi dari para kaum munafik. Pilihan ketigalah yang sejalan dengan agama islam. Sebagai keringanan yang dibatasi untuk mengatasi fenomena yang tidak cukup dengan berpangku tangan, saling menyalahkan dan menuduh. Sebuah pilihan yang selaras dengan norma-norma positif, sesuai dengan fitrah dan kondisi manusia tanpa menghiraukan etika luhur dan masyarakat yang suci, serta membuang jauh perzinaan menuju tatanan masyarakat yang beradap. Mekipun pelan namun pasti. Persoalan kehidupan manusia kedua yang kita amati, ada satu hal yang tidak bisa kita pungkiri dan niscahya dialami seseorang, baik dulu maupun sekarang, bahkan sampai kapanpun. Yakni, seorang lelaki akan mengalami masa menopause ketika berusia kurang lebih tujuh puluh tahunan. Berbeda dengan perempuan, masa menopause nya berkisar antara lima puluh tahun atau lebih. Selisih waktu dua puluhan tidak sepandan dengan kemmapuan biologis yang ada pada wanita. Padahal tidak ragu lagi, salah satu hikmah dibalik penciptaan laki-laki dan perempuan ialah meneruskan keturunan, dan memperbanyak serta menyebarkan khalifah di muka bumi. Meski demikian, yang kita kehendaki bukanlah pemberlakuan hukum ini--keringanan poligami--untuk setiap orang dalam komunitas masyarakat, situasi, dan kondisi apa pun tanpa pengecualian, karena justru hal ini tidak sesuai dengan fitrah manusia, melainkan yang kita inginkan ialah sebuah sistem yang mampu mewadai fitrah manusiawi dan hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa. Keselarasan antara naluri manusia dan ajaran agama inilah yang selalu menjadi inti dari syari’at Allah. Dan tidak akan didapati dalam hukum buatan manusia manapun. Karena kemampuan akal manusia sangatlah terbatas dan tidak mampu memahami permasalahan secara detail dan mendalam. Begitu juga halnya akal, seringkali tidak proporsionaldan mengapung segala kemungkinan. Salah satu fakta yang berkaitan dengan persoalan di atas adalah bagaiman kita mencari jalan keluar untuk menjembatani keinginan biologis sepasang suami istri yang terhalang karena faktor usia atau sakit. Di satu sisi pasangan tersebut ingin mempertahankan keutuhan keluarga dan tidak menghendaki adanya perceraian? Seperti yang telah kita katakan, hanya berpangku tangan tidak bakalan menyelesaikan masalah, apalagi bersikap acuh tak acuh bukanlah cara yang diharapkan dalam menghadapi problematika hidup. Dan untuk kesekian kalinya, kita dihadapakn tiga pilihan berikut. 1. Mengekang dan membatasi fitrah seorang lelaki dengan otoritas hukum dan kekuasaan. Dan mencibirnya, “ingat kawan, tindakanmu sangat tercela dan tidak pantas. Perbuatanmu menyakiti dan merendahkan istrimu.” 2. Membirakan suami berselingkuh dan berzina dengan wanita manapun yang ia kehendaki. 3. Mengizinkan suami berpoligami--dalam kondisi tertentu--dengan mempertahankan istri yang pertama. Pilihan pertama berseberangan dengan fitrah, kemampuan dan kebutuhkan biologis serta spiritual seorang suami. Salah satu dampak yang diakibatkan--apabila kita paksa dia dengan otoritas hukum dan kekuasaan--adalah munculnya kebencian yang mendalam terhadap keluarga yang ternyata justru memberikannya beban dan siksaan hidup. Satu hal yang sangat berlawanan dengan prinsip islam yang menjadikan rumah tangga sebagai tempat berteduh dan mencari ketenangan. Pilihan yang kedua bertolak belakang dengan ajaran etika islam dan merobohkan tatananya dalam rangka mengangkat dan mensucikan derajat manusia, jika tidak lantas apa bedanya manusia yang dimuliakan Allah dengan binatang. Pilihan ketigalah satu-satu nya nominasi yang mampu menjawab kebutuhan fitrah manusia. Memenuhi tatanan etika islam, mempertahnkan istri, pertama dalam lindungan suami mewujudkan kedua pasangan untuk tetap bersama dan saling mengingat kenang an indah. Walhasil seorang suami akan mengayunkan langkahnya kedepan dengan perlahan dan pasti kondisi seperti ini terluka ketika seorang istri tidak mampu memberikan keturunan, sedangkan suami mengharapkan kehadiran sang buah hati, maka tidak ada pilihan lain lagi baginya kecuali dua hal berikut: Menceraikannya dan menikah dengan wanita lain yang lebih mampu Menikah lagi dan mempertahankan istri pertama. Bagi para musuh islam, mereka lebih mengutamakan jalan yang pertama. Akan tetapi fakta membuktikan mayoritas para istri justru memprotes. Jalan tersebut dinilai akan menghancurkan rumah tangga mereka tanpa akhir yang jelas. Beginilah jika kita renungkan fakta yang terjadi di masyarakat lebih jauh lagi, bahwa realitas di lapangan bertoalk belakang dengan anggapan para musuh islam dan menolak ajakan mereka. BAB III PENUTUP III.1 Simpulan Setelah menguraikan beberapa penjelasan mengenai poligami dalam bab pembahasan sebelumnya, maka kami menyimpulkan bahwa poligami di perbolehkan dalam ajaran agama islam dengan syarat-syarat tertentu serta dalam pelaksanaannya sesuai engan syari’at-syari’at dan hukum. Disini, kami tidak menganjurkan untuk berpoligami tetapi sedikit menjelaskan tentang poligami itu sendiri agar dalam pemahaman maupun pelaksanaannya tidak cenderung kepada satu pihak atau bahkan menyalahi aturan yang telah di tetapkan oleh agama islam. Kami juga menekankan bahwa membenarkan suatu alasan untuk berpoligami sedangkan apabila tidak berpoligami kebahagiaan dalam berumah tangga dapat diraih adalah tidak benar sama sekali. III.2 Saran Dilihat dari perkembangan norma masyarakat yang terdapat dalam masyarakat pada zaman sekarang ini serta ditilik dari segi hokum maupun sisi agama islam itu sendiri, kami memiliki saran sebagai berikut: 1. Tidak memanfaatkan poligami untuk sarana pemuasan nafsu birahi tanpa diikuti dengan keadilan terhadap para istrinya sebagai seorang suami. 2. Apabila tidak ada jalan lain selain poligami, maka suami harus berlaku adil dan membahagiakan semua istrinya tanpa cenderung kepada salah satunya. 3. Jika di dapatkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah tidak perlu dilakuakn poligami DAFTAR PUSTAKA Ali, Prof. Dr. H. Zainuddin. 2007. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: sinar Grafika. Al-Barudi, Imad Zaki. 2007. Tafsir Al-Qur’an Wanita. Jakarta: Pena Pundi Aksara. Basyir, KH. Ahmad Azhar. 2007. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta. Kamal, Abu Malik. 2007. Fiqih Sunnah untuk Wanita. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat. 7 Januari 2010